Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2015

kupu-kupu

Aku ingin Sayap yang berwarna-warni Mengepak tinggi Mengelana bunga Tapi Aku tahu.. detik ini Aku masih seekor ulat

berharga

Aku tidak pernah, semanusia ini.. Ada yang mengajakku berbicara Ada yang menyuruhku melakukan sesuatu Kukira kita adalah gerbang dunia lain Engkau melepas semua jerihku Aku giat bertata krama denganmu Lebih sering saat aku memutuskan memperbanyak menyulitkanmu Terkadang, senyumnya menggantung Terkadang, alisnya melengkung tajam Tapi paling sering, kau menatapku sepi Aku tegas menduga kau pembenci merah muda Engkau jelas menyela, aku adalah spesies yang tak pernah ada Lekas aku menjaga Lekas kau berlari Sedangkan… Disini masih sepi Tetapi waktu, mendetakkan detik terlalu cepat Aku harap tidak segera malam Tidak, saat ini…

Aku Tahu, Untuk Yang Memanggilmu Penyendiri

Aku tahu, engkau menyimpan sedikit luka yang selalu kau coba umpamakan. Lalu, bersembunyi dari keramaian untuk bertemu dengan hujan yang membasahi kedua pipimu. Aku tahu, senyum itu sangat sulit engkau tampakkan tetapi engkau coba lakukan untuk pertahanan terhadap sesuatu. Terlantar atau dilantarkan hanyalah istilah tak penting untuk menjelaskan keberadaanmu pada satu sudut dimana tak ada satupun yang mengindahkan. Kemudian, engkau berkelana sendiri mencari debu yang mampu menggantungkan lengkung indah pada bibirmu yang tak dimudahkan untuk bertutur. Kemudian, engkau tertawa sendiri menatap dua orang bocah yang sedang terbahak mengayuh sepedanya. Kemudian, engkau menangis sendiri saat ada seseorang menepuk pundakmu dan berkata “apa kabar?” Aku tahu, engkau menunggu di depan. Menatap orang berlalu lalang hanya untuk menanti satu orang diantaranya menoleh kemudian tersenyum padamu. Engkau hanya mampu berharap pada goresan-goresan kecil pada sebatang pohon. Atau pada setu