24 September 2014

“Ah, Lampung.. kenapa selalu seterik ini?” ocehanku pada siang hari yang begitu panas. Hari ini jadwal kuliah kosong mendadak setelah bapak dosen menyatakan kesibukannya dan menunda perkuliahan. Segera ku ambil handphone dan mengirim pesan singkat pada mas yanto “mas, jemput sekarang ya, biasa.. sekret” selang beberapa menit kemudian dia membalas “maaf neng, gabisa”. Kulihat uang di tas, tidak ada sepeserpun. Aku bergegas mencari Nila,nihil. Ini dia, Elsa, akhirnya Rp 10.000 kudapat darinya bekal pulang. Nila dan Elsa adalah teman karibku. Mereka biasa kucari, walau mereka tak pernah mencariku. Kelimpungan aku kalau di kampus. Jawab seabrek pertanyaan tentang “teteh, kok sendiri???” beberapa saja yang masih bisa kumintai pertolongan, itupun kalau mereka nggak sibuk. Nggak papa sih, wajar aja.. siapa aku??? Hehe, kasian. Padahal siang itu terasa begitu lapar, begitu inginnya aku makan. Hmm, tapi… lupakanlah, aku harus pulang.
Aku sedikit benci pada musik angkot di tengah teriknya Lampung, terasa begitu bising. adakah yang sependapat denganku? Tidak, rasanya aku sendiri… lagi. Ya, Lampung siang ini begitu terik, aku kelimpungan mencari keteduhan, di antara sesaknya orang di ibu kota yang bersaing dengan volume tinggi dari musik angkot. “ffiuh…. Biasanya aku tidak menikmati terik ini sendirian” aku mencoba meyakinkan diriku, berkeliling dan, ya.. memang hanya aku.
Di perjalanan, aku begitu fasih menikmati setiap lalu lintas jalanan, sampai aku terkesiap pada satu bayangan nyata.
Di sebuah pasar yang begitu ramai, kulihat seorang bapak sedang menghitung hasil rizkinya hari ini. Terlihat begitu ragu, dia memasukkan selembar uang bernilai Rp 10.000 ke dalam dompetnya, wajahnya kumal, bajunya lusuh, dan.. dia sendirian diantara berjubel-jubel orang di pasaran. Dia mengelap bulir bulir keringat yang menetes di dahinya dengan baju yang berkali-kali lipat lebih usang dari tenda becaknya. Dia seperti bayangan, seperti tak ada satupun yang mampu menebak hadirnya. Dibiarkan sendiri sampai seorang pegawai keamanan pasar datang dan mengambil uang, mengambil selembaran satu-satunya yang dia punya. Bapak itu melawan, tapi tubuhnya terlalu ringkih. Aku ingin menolongnya, tapi aku… bisa apa??? Setengah perjalanan kulalui dengan menangis. Bagaimana ini?
1.         Apakah aku harus turun dan mengganti uangnya padahal aku tiada sepeserpun
2.       Apa aku harus berteriak minta tolong, sementara di sampingku ada seorang ibu hamil tua?
3.       Apakah aku harus turun dan sekedar berucap “sabar ya, pak”
Ada sesuatu yang disebut “obat” yang mungkin mampu meredakan sakitnya hati bapak itu. Aku pilih berdoa saja untuknya. Orang sehat, pantang menyerah.. seperti beliau saja.. membutuhkan sebuah obat penenang hatinya, selain sholat.. ada sesuatu yang lain yang perlu dibahas oleh seorang penyendiri. Ada suatu sudut yang harus dia pastikan untuk tetap tenang sendiri.
Aku jadi ingat dengan beberapa orang yang mengambil keputusan terbaik dan meninggalkanku. Aku cukup yakin, mereka telah menemukan obat yang lebih paten daripada bersamaku. Ya, Ada sesuatu selain melindungi, sesuatu selain peduli…. Aku pikir, itulah “tenggang rasa”.

Maaf ya, selalu membuat  mereka berpikir.. aku tidak memilikimu. Terlampau sering aku berjalan sendiri. Aku, tidak tahu dirugi. Bersyukur, masih ada beberapa…… saja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sharp, Principal, Diffuse dan Fundamental

Sholat Menangis? Lantas?

Indahnya Kembang Api dan Kimianya