P.E.R.N.A.H

Hari ini lalu lintas mahasiswa melewati sekre Hima begitu ramai, sedari tadi jalanan sudah begitu bising dengan suara klakson. Hari ini, FMIPA begitu ramai. Aku suka pemandangan Jumat dengan nuansa putih, dengan kerudung yang dilebarkan, nuansa bersih dan juga ramah tamah penghuninya. Hari ini, matahari sebegitu perkasanya untuk menyombongkan diri. Terik yang dipancarkan sudah sangat berhasil membuat daun menguning. Sayang, beberapa pohon harus di tebang. Aku harus menahan diri untuk menyaksikan romantisnya sinar matahari yang mengintip di balik rindangnya pohon-pohon itu. Tumben hari ini tidak gerimis. Hari ini, aku sibuk dengan “ketenangan” melangkahkan kaki pada dua sekre yang sama-sama menempatkanku pada sebuah biro penulisan. Lagi-lagi aku duduk termangu di antara beberapa orang yang kelimpungan mencari celah menikmati hari yang cerah. Aku malah duduk di depan Sekre, memandang kaku sebuah tiang penyangga atap. Kuperhatikan dengan seksama. Strukturnya merapuh, dan… kupandangi sebuah sosok yang tak asing. Dia yang tak pernah memberiku kesempatan untuk melemparkan sebuah senyuman. Iya, dia…
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi bercengkrama pada rekan yang sudah kuanggap satu komunitas. Ya, komunitas Bintang. Terdengar tak asing, kupilih bintang sebagai tema utama untuk menyatakan tujuan dari sebuah diri yang tak boleh menjadi sia-sia. Kupilihkan bintang, karena cahayanya yang tak redup meski dilekang waktu.
Iya, mereka menyapaku dengan pasti.. “yakin, Teh.. nggak ada orang yang bisa buat kamu marah?”
aku menoleh “tentu, belum pernah ada orang yang berhasil membuat teteh seperti itu”
dia membulatkan matanya “meskipun dia membencimu?”
aku membalas hanya dengan anggukan.
Dia mencibir “dia juga tidak mampu?” ……
Mataku dipaksa memandang sesosok manusia yang tidak asing lagi. Yang pernah sempat kurindukan, yang pernah ku bagikan tangis, yang pernah kusandarkan senyuman, yang pernah datang dalam mimpi sekadar berbagi tawa, yang pernah menyita waktu dalam doa sekedar memastikan bahwa Tuhan kan selalu menjaganya.
Aku malah dibuatnya berpikir agak lama, dan malah menerawang pada suatu masa dimana aku dan dia tidak pernah kehabisan akal untuk melewati hari.
Melintasi sebuah masa dimana dia pernah menjadi seseorang yang sangat berharga.
“teh, jawab dong!?” sepertinya dia mulai dongkol.
“nggak, sama sekali” aku menjawabnya sembari tersenyum.
Aku kembali pada lamunanku dan beranjak pada topik yang dirisaukan hatiku. Aku tidak pernah bangga atas diriku yang seperti ini sampai pada seseorang menyatakan kebanggaannya karena telah memilihku sebagai calon isterinya. Aku tidak pernah lelah atas diriku sampai pada seseorang yang mengatakan kelelahannya untuk menahan rindu. Iya, seseorang itu,

dia….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sharp, Principal, Diffuse dan Fundamental

dear my best ever friend

Sholat Menangis? Lantas?