Kemarin, senyap begitu pengap dalam lelap. Di persimpangan jalan kudapati Tuhan mengizinkanku berbincang dengannya, kutulis segala penat menjadi rangkaian kata yang sedikit mengupas ego. Kamu: jadi, selama ini hanya jarak? Aku: itu perumpamaan bodoh yang kudengar Kamu: menurutnya, aku tak baik, apa kau tetap mengindahkannya? Aku: Demi Tuhan, aku bahkan tidak memandangmu karenanya. Dia, bukan orang yang mencintaimu. Jadi, ingatlah ucapan ini sebagai pernyataan bahwa aku denganmu tidak karena siapapun. Kamu: musuh kita, hanyalah waktu dan jarak? Aku: demi Tuhan, bahkan taka da satu kerikilpun di dunia ini yang mampu mengusikmu keluar dari penat ini Kamu: apa cinta harus sebuta itu? Aku: cinta juga tuli Kamu: maksudmu? Aku: ya, tidak penting seberapa banyak orang melakukan penilaian atas kejelekanmu. Kamu: aku harusnya tahu itu… Aku: jika kamu bercanda, temui saja ujung jalan ini. Kamu: aku tahu tapi silau saja hilang, aku.. pasti pergi Tentu saja, cermina